Sabtu, 23 April 2016

Meresapi Cerita Berbahasa Jawa dalam Buku “Kadhung Kepencut” (2)



Buku “Kadhung Kepencut” sudah saya ambil sejak beberapa hari yang lalu di resepsionis kampus. Pas lewat depan resepsionis, saya lirik papan pengumuman yang ternyata nama saya ada disana, artinya ada paket untuk saya ambil, itulah buku kadhung kepencut yang saya pesan dari Bu. Eni sejak beberapa minggu sebelumnya . Waktu itu kebetulan saya PP Trenggalek-Tulungagung karena ada pertemuan dengan teman-teman KPL di kampus dengan dosen pembimbing. Segera saja saya minta ke petugasnya untuk mengambilkan paketan tersebut. Seperti biasa, sebelum barang diterima harus menyodorkan kartu mahasiswa terlebih dahulu dan tanda tangan. Barang sudah bisa saya terima. 

Perjalanan pulang ke Trenggalek dengan membawa buku kadhung kepincut yang masih berbungkus rapi. Karena belum Sholat Dhuhur, saya berhenti di salah satu SPBU yang ada di Trenggalek untuk menunaian Sholat Dhuhur sembari istirahat sejenak. Melihat buku kadhung kepencut yang masih berbungkus, sudah tidak sabar untuk membukanya. Hanya sempat kubuka-buka saja dan baca sekilas halaman awal-awal, karena waktu sudah menjelang sore dan saya harus melanjutkan perjalanan panjang saya lagi yang masih sekitar tiga jam-an dari tempat tersebut. Sekitar pukul 18. 00 baru sampai rumah dan disusul dengan hujan. Beruntung sekali karena hujan sudah di rumah. Waktu itu saya lupa untuk bawa jas hujan.

Di temani hujan yang cukup deras dan malam yang menggelayut, mata saya masih bening alias belum muncul tanda-tanda mengantuk. Di halaman rumah, pas Bapak lagi lembur buat pagar bambu untuk dipasang di sawah. Awalnya saya hanya iseng-iseng saja duduk di teras rumah melihat Bapak buat pagar Bambu sambil nobrol-ngbrol ringan, saya buka-buka buku kadhung kepincut. Belum ingin serius membacanya di malam itu, kan hanya iseng saja sambil nogbrol ringan dengan Bapak.

Meresapi dari bagian depan buku, seperti profil buku, dafar isi, atur tetepangan (profil), pengantar pembuka, dan juga termasuk sinopsis, semakin merambah ke bagian isi. Dari hanya iseng menilik bagian depan buku, akhirnya kepencut juga untuk menuju bagian isi. Terbawa isi buku tersebut, obrolan saya dengan Bapak tiba-tiba menghilang begitu saja. Bapak yang lagi serius membuat pagar bambu, sedangkan saya yang tengah terjerumus dalam untaian kata indah berbahasa Jawa karangan Bu. Eni itu. Sempat Bapak meminta saya pindah ke dalam dan tidur, namun posisi saya sudah terlanjur uenak menyelami setiap bait cerita nano-nano dalam kisah cerkak yang beliau tuliskan. Sepertinya saya juga lagi senang, karena setelah sekian lama saya tidak bersentuhan dengan buku berbahasa Jawa. 

Bagian demi bagian saya telah resapi. Setengah buku dengan ketebalan hampir 100 halaman ini saya habiskan di malam itu, dan akan saya lanjutkan esok paginya. Benar, esok paginya setelah Sholat Subuh, langsung kuambil buku itu dan membacanya, selesai sekitar pukul 09. 30. Kalau saya sudah terlihat membaca buku, saya tidak lagi disuruh-suruh untuk melakukan ini-itu, karena diangapnya saya tengah belajar serius, he he. Tugas rumah yang harus saya lakukan, saya tunda dulu di pagi itu, seperti menyapu, cuci piring, dll. Membacanya serasa ingin lagi dan lagi karena penasaran dengan variasi cerita yang dibuat.  

Perlu diketahui bahwa cerita-cerita dalam buku ini menarik sekali, selain Bahasa Jawa  yang digunakan seperti bahasa ngoko yang biasa dipakai sehari-hari, juga tajuk cerita tresna yang sangat dramatis, serasa saya sedang menimati sinetron FTV saja, he he he.
Dalam buku kadhung kepencut terdapat dua belas variasi cerita cinta yang sangat menakjubkan. Dalam pengantarnya beliau menjelaskan bawa kedua belas tulisan tersebut adalah tulisan-tulisan yang sudah pernah dipublikasikan di media massa yang dikumpulkan menjadi satu buku kumpulan cerkak ini, utamanya di majalah Jaya Baya dan Panjebar Semangat. 

Kaya kaajak mabur dhuwur ing telenging rasa” cuplikan kata-kata yang saya ambil dari salah seorang yang menuliskan endorsement dalam buku ini, dan itulah yang saya tengah saya rasakan ketika menyelemi dan meresapi setiap jalan cerita. Emosi pembaca (bukan emosi yang berarti marah) terbangun, menurut saya salah satu penyebabnya adalah penulis memakai kata ganti orang pertama sebagai narator sekaligus pusat cerita. “Aku” sebagai pemeran utama dalam cerita seolah-olah “aku” yang tengah ada dan terlibat dalam cerita. Aku (pembaca) akan ikut sedih ketika tokoh “aku” sedang mengalami kejadian yang membikinya sedih, atau sebaliknya, karena  memang aku” tengah ada dalam cerita yang menjadi pemeran utama. Pokoknya membaca cerita ini, pembaca seolah-olah bisa merasakan emosi tokoh “aku” dalam cerita, baik haru, senang, sedih,  dll. Begitulah aku merasakannya.

Dua belas cerkak di buku ini memiliki kekhasan tersendiri dalam setiap jalan cerita yang dibuat. Untuk meresapi jalan cerita yang ada, saya telah memberikan catatan pemahaman di dalamnya, baik dengan menggaris bawahi ungkapan-ungkapan tertentu, menandai kata-kakata sulit, menuliskan tokoh dalam cerita, dll. 

Judul ke-dua belas cerita cinta berbahasa Jawa ini diantaranya, “Layang Kanggo Kancaku Lawas, April Mop, Ayahe Sadewo, Banjir Ing Tengahe Banjir, Buta Kelangan Galake, Januari Telung Babak, Kadhung Kepincut, Kejiret Tembang Lawas, Mancal ing Dalan Nggronjal, Nalika Atine Munting, Nduwure Langit Ana Langit, dan Tangis Desember.

 Meresapi setiap jalan cerita dalam buku kadhung kepencut

Isi cerita akan saya tuliskan di bagian (3)

1 komentar:

UJIAN KESABARAN: RESEP SEMBUH PENDERITA HIPERTIROID

Oleh: Eka Sutarmi Periksa rutin ke dokter saya lakoni sejak saya mengetahui penyakit tiroid yang menyerang organ tubuh saya. Tepatnya 6 Ju...